PROBOLINGGO, PATROLI POS
Melihat moral bangsa yang kian merosot, hati ini terasa miris. Sosok kiai yang seharusnya menjadi pelita umat, kini tak jarang dipelintir citranya, dicurigai, bahkan dihujat tanpa tabayyun. Pesantren tempat lahirnya para penjaga iman dan akhlak kadang dituding sebagai ladang eksploitasi. Inilah potret kelam zaman yang sedang kita hadapi: di mana kebenaran bisa dibolak-balik, dan kemuliaan sering dipertanyakan.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat seolah tak lagi terbendung. Dunia maya kini menjadi panggung besar, tempat setiap orang bisa bicara tanpa batas, tapi juga tanpa kendali. Banyak yang cepat berkomentar, namun sedikit yang mau memverifikasi. Fitnah berlari lebih cepat daripada kebenaran. Akibatnya, adab hilang, kepercayaan luntur, dan ukhuwah umat pun terpecah belah.
Namun di tengah kegelapan itu, masih ada harapan. Kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah kembali menegakkan tabayyun dan adab.
Sebelum membagikan kabar, tanyakan pada hati: “Apakah ini benar? Apakah ini bermanfaat?” Karena Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: “Cukuplah seseorang dianggap berdusta bila ia menceritakan segala sesuatu yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Langkah kedua, perkuat pendidikan moral dan literasi digital. Anak-anak dan santri harus diajarkan bukan hanya cara menggunakan teknologi, tapi juga cara menjaga akhlak di dalamnya. Zaman boleh modern, tapi akhlak tidak boleh pudar. Di rumah, di sekolah, di pesantren, marilah kita tanamkan kembali nilai-nilai kejujuran, hormat kepada guru, dan tanggung jawab dalam bermedia sosial.
Selanjutnya, jaga marwah ulama dan pesantren. Jika ada isu negatif, jangan tergesa menilai. Ulama pun manusia yang bisa salah, tapi tetap harus dihormati dengan adab. Jika salah, nasihati dengan santun; jika benar, bela dengan bijak. Kita butuh umat yang tidak hanya pintar membaca berita, tapi juga cerdas membaca kebenaran.
Dan yang tak kalah penting, mulailah dari diri sendiri. Jadilah teladan kecil di lingkungan kita: di rumah, di tempat kerja, di dunia maya. Jika kita bisa menahan diri dari menyebar keburukan, menjaga lisan dari caci maki, dan menghormati guru serta orang tua, maka kita telah ikut memperbaiki bangsa meski tanpa tepuk tangan.
Akhirnya, di atas semua usaha itu, mari kita berdoa dan berjuang bersama. Semoga Allah menjaga hati kita dari fitnah zaman, memberi kekuatan untuk tetap istiqamah di jalan kebenaran, dan menuntun bangsa ini kembali pada nilai-nilai luhur yang diwariskan para ulama dan pendiri negeri.
Karena di tengah gelapnya arus dunia maya, kita masih bisa menjadi cahaya meski kecil, tapi cukup untuk menerangi jalan kebaikan. Red**
Saiful Bahri, S. Ag Penyuluh Agama Islam