PROBOLINGGO, PATROLI POS
Penanganan kasus dugaan penganiayaan terhadap Suarni, warga Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, terus menjadi sorotan publik. Delapan bulan berlalu sejak laporan resmi dibuat ke kepolisian, kasus ini belum juga menemui titik terang, sementara status tersangka pun belum diumumkan.
Kasus ini melibatkan seorang warga negara asing (WNA) pengusaha pemilik Villa 88, yang diduga sebagai terlapor. Lambannya perkembangan kasus ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat akan adanya perlakuan hukum yang berbeda antara warga pribumi dan orang asing berduit.
Kasus Serupa Sudah Sidang, Suarni Masih Menunggu Gelar Perkara
Media ini menelusuri, ada kasus serupa yang bahkan lebih ringan dari segi hasil visum maupun tingkat kekerasannya, namun sudah berproses hingga tahap sidang di pengadilan.
Menariknya, kedua kasus tersebut ditangani oleh pengacara yang sama dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
“Ya, benar. Saya mendampingi dua perkara serupa. Dalam kasus pertama, pelakunya WNI, prosesnya cepat, transparan, dan sekarang sudah masuk tahap sidang. Sementara dalam kasus Bu Suarni, yang terlapornya WNA pengusaha, sampai hari ini masih mau gelar di Polres. Padahal sudah delapan bulan,” ujar pengacara senior PERADI, Muhammad Ilyas, S.H. M.SI., yang mendampingi korban, saat diwawancarai media ini di Probolinggo, Selasa (4/11/2025).
Menurutnya, perbedaan perlakuan dalam dua kasus serupa tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat. “Hukum seharusnya tidak melihat status sosial, ekonomi, atau kebangsaan seseorang. Kalau yang WNI cepat diproses, kenapa yang WNA lama sekali? Ini pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.
Imparsialitas, Ujian Nyata bagi Hukum di Daerah
Kasus Suarni menjadi ujian bagi aparat hukum di Probolinggo: apakah prinsip imparsialitas benar-benar diterapkan.
Imparsial berarti tidak memihak, tidak berpihak kepada salah satu pihak dalam perkara. Dalam konteks hukum, imparsialitas adalah fondasi utama bagi tegaknya keadilan dan kepercayaan publik. “Kalau hukum sudah condong pada kekuasaan atau uang, maka yang lemah tidak akan pernah menang. Kita bicara soal kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Itu bukan slogan — itu amanat konstitusi,” tutur sang pengacara.
Ia menambahkan, dalam setiap kasus pidana, korban memiliki hak yang sama untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum. “Bu Suarni bukan siapa-siapa. Dia rakyat kecil yang mencari keadilan. Tapi kalau kasusnya ditunda-tunda terus, ini bukan hanya soal satu orang — ini soal wajah hukum kita di mata rakyat,” ungkapnya dengan nada kecewa.
Publik, Aliansi Aktivis dan Afiliasi Wartawan Probolinggo Raya (AWPR) Bersatu, Desak Transparansi Penanganan
Sejumlah Aliansi Aktivis, sejumlah wartawan yang tergabung di AWPR dan aktivis hukum di Probolinggo kini ikut bersuara. Mereka menilai, gelar perkara yang rencananya akan dilakukan oleh Polres Probolinggo harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan pihak independen, termasuk kuasa hukum korban dan lembaga pendamping masyarakat. “Kita ingin memastikan prosesnya adil dan tidak ada intervensi. Jangan sampai hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah,” kata kang Suli, ketua koordinator Aliansi Aktivis Probolinggo, yang turut mengawal kasus ini.
Aliansi tersebut menegaskan pentingnya sikap imparsial (tidak memihak) dalam setiap proses hukum.
“Imparsialitas bukan pilihan, tapi kewajiban moral dan profesional bagi aparat penegak hukum,” tegasnya.
Polisi dan DPRD Probolinggo Angkat Bicara
Ketika dikonfirmasi, Kasat Reskrim Polres Probolinggo, AKP Putra Fajar, “Akan kami gelarkan, Mas,” jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Namun saat ditanya lebih lanjut mengenai jadwal pasti pelaksanaan gelar perkara, hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan lanjutan.
Sementara itu, Kanit PPA Polres Probolinggo, Aiptu Agung, juga belum memberikan respons sama sekali meski pesan konfirmasi dari media ini telah terbaca.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPRD Kabupaten Probolinggo, Muklis, mengaku terus memantau perkembangan kasus ini. “Waalaikum salam, kita juga monitor Polres, Pak. Sabar… info terakhir akan segera ditetapkan tersangka,” ujarnya singkat.
Namun, satu minggu telah berlalu sejak pernyataan itu disampaikan, dan hingga kini belum ada penetapan tersangka.
Desakan Naik ke Polda Jatim dan Mabes Polri
Situasi ini mendorong banyak pihak untuk menyerukan agar kasus Suarni dilimpahkan ke Polda Jawa Timur atau bahkan Mabes Polri, demi menjamin transparansi dan objektivitas. “Kalau di daerah tidak bisa imparsial karena tekanan atau pengaruh tertentu, maka biarkan lembaga yang lebih tinggi menanganinya. Korban berhak mendapatkan kepastian hukum,” ujar Kang Suli, yang mengawal Suarni.
Ia menambahkan, dirinya dan tim hukum serta dari AWPR akan terus mengawal perkara ini sampai keadilan benar-benar ditegakkan. “Kami tidak akan berhenti. Ini bukan sekadar membela satu orang, tapi membela prinsip: bahwa hukum harus sama di hadapan siapa pun,” pungkasnya.
Refleksi untuk Bangsa: Hukum Tidak Boleh Pilih Kasus
Kasus Suarni menjadi cermin penting bagi seluruh elemen bangsa tentang arti keadilan yang sejati.
Hukum bukan hanya teks undang-undang, melainkan cerminan moral dan kemanusiaan. Ketika hukum berpihak pada yang kuat, maka nilai-nilai Pancasila telah kehilangan maknanya.
Keadilan tidak boleh dikubur oleh uang, status sosial, atau kebangsaan.
“Setiap warga negara, termasuk Bu Suarni, berhak mendapat keadilan yang setara,” tegas Kang Suli.
Publik kini menanti, apakah gelar perkara yang dijanjikan kepolisian benar-benar dilaksanakan dengan adil, terbuka, dan imparsial.
Sebab, ketika hukum menjadi milik segelintir orang, maka rakyatlah yang paling kehilangan. Bersambung……..Red**
